Batik sudah menjadi mesin penggerak ekonomi nasional. Nilai ekspor batik dan produk turunannya pada 2017 mencapai US $58,46 juta dengan pasar tujuan Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Indonesia menjadi market leader pasar batik dunia.
Salah satu sudut gedung Organisasi Pendidikan, keilmuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO), di Paris, ada yang berbeda pada Juni lalu. Tak kurang 100 kain batik karya perajin Indonesia menghiasi area tersebut. Ada apa gerangan?
Rupanya saat itu sedang digelar wastra Nusantara. Ini bagian dari pameran Batik for the World ‘ yang digagas desainer Oscar Lawalata. Malam pembukaannya diisi dengan peragaan busana Oscar serta dua desainer papan atas Indonesia Edward Hutabarat dan Denny Wirawan suskes memukau ribuan tamu yang hadir.
Menurut Oscar tujuan dari Batik for the World adalah memperkenalkan batik sebagai warisan budaya Indonesia ke panggung dunia. Sekaligus sebagai perayaan sembilan tahun setelah UNESCO mengukuhkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non bendawi pada 2 Oktober 2009 silam.
Dari pengakuan tersebut, pemerintah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Tiap tahun kita merayakan Hari Batik Nasional. Di Indonesia kini batik tidak hanya menjadi pakaian resmi pada acara pernikahan, misalnya, tapi sudah menjadi tren gaya hidup fesyen di tengah masyarakat dan juga diterima masyarakat global.
Dilansir dari situs UNESCO, teknik, simbolisme, dan budaya terkait batik dianggap melekat dengan kebudayaan Indonesia. Bahkan, UNESCO menilai masyarakat Indonesia memaknai batik dari prosesi kelahiran sampai kematian. Batik juga menjadi refleksi akan keberagaman budaya di Indonesia, yang terlihat dari sejumlah motifnya.
Kembali pada Batik for the World. Pagelaran itu didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation. Kegiatan ini sebagai salah satu cara memperkenalkan batik dalam perspektif komoditas yang dihargai. Tidak hanya itu, mengandung filosofi serta keterampilan para perajinnya. Dan akhirnya batik menghasilkan nilai ekonomis tinggi bagi perajinnya.
Pagelaran yang bergengsi itu, menurut Oskar butuh waktu setahun baginya dan tim untuk mewujudukan acara ini. Pasalnya, banyak negara lain ingin menggelar perhelatan serupa di UNESCO. Namun penantian lama tersebut akhirnya terbayarkan dengan antusiasme para tamu terhadap batik.
“Banyak di antara mereka yang baru tahu bahwa batik ternyata bisa dipakai juga untuk sehari-hari. Mereka penasaran bagaimana dengan cara pembuatan dan berapa lama prosesnya,” ungkap Oscar, sebagaimana dikutip dari wolipop.detik.com.
Kini batik telah mendunia. Sejumlah fashion show kelas dunia acap menampilkan rancangan pakaian batik di pentas itu. Responnya pun positif. Decak kagum masyarakat akan motif-motif batik mampu menyedot devisa. Kementerian Perindustrian RI, mengungkapkan batik sudah menjadi mesin penggerak ekonomi nasional. Nilai ekspor batik dan produk turunannya pada 2017 mencapai US $58,46 juta dengan pasar tujuan Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.
“Industri batik nasional memiliki daya saing komparatif dan kompetitif di pasar internasional. Indonesia juga menjadi market leader yang menguasai pasar batik dunia,” kata Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Gati Wibawaningsih di Jakarta, dalam siaran pers yang dikutip dari kemenperin.go.id pada Mei lalu.
Sementara Oscar melihat hal tersebut sebagai signal bahwa Eropa adalah pasar potensional. Menurutnya, masyarakat Eropa sangat menghargai proses dan selektif sehingga batik bisa dipasarkan dalam kategori produk luks atau premium, sejajar dengan merek high-end Eropa lainnya. “Tinggal bagaimana kita menampilkan dan menceritakan prosesnya karena batik dihargai dari prosesnya,” tambah Oscar. Di samping itu, batik dipandang unik lantaran tekstil tangan sudah mulai tergeserkan oleh mesin.
Saat ini angka ekspor batik kita masih kecil. Mengingat perdagangan produk pakaian jadi dunia mencapai US$ 442 miliar. Artinya batik masih kurang dari 2% meraup pangsa pasar pakaian jadi dunia. Fenomana ini menjadi peluang besar bagi industri batik untuk meningkatkan pangsa pasarnya, mengingat batik sebagai salah satu bahan baku produk pakaian jadi.
Sementara Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Gati Wibawaningsih, menyatakan produk batik didominasi industri kecil dan menengah dengan pasar utama ke Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa itu mampu menyumbang devisa yang cukup signifikan sekaligus berdaya saing kompetitif di pasar dunia.
“Batik telah bertransformasi menjadi berbagai bentuk fesyen, kerajinan dan home decoration yang telah mampu menyentuh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai kelompok usia dan mata pencaharian di dalam dan luar negeri,” paparnya seraya menambahkan hingga saat ini, IKM batik tersebar di 101 sentra seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Jumlah tenaga kerja yang terserap di sentra IKM batik mencapai 15 ribu orang, sebagaimana dikutip dari cendana.com.
Pemerintah pun akan proaktif membantu para perajin batik untuk mengekspor produknya, mumpung belum banyak saingan. “Batik Indonesia tidak ada saingannya, karena khas. Tiongkok dan Malaysia tidak bisa buat yang seperti kita, berbeda batiknya,” kata Gati kepada Berita Satu, sebagaimana dikutip dari beritagar.id
Lebih lanjut ditambahkan, batik dari Tiongkok kebanyakan produk cetak dan motifnya kurang berkembang. Sementara itu, batik Malaysia sangat berbeda dengan Indonesia. “Batik sebenarnya cuma kita, tidak ada saingan. Malaysia coba-coba bikin batik, tapi mereka melukis, bukan membatik, beda sekali,” tambahnya.
Sementara ditempat terpisah Gati Wibawaningsih, sela acara Pasar Tiban di Atrium 2 Lippo Mall Puri, Jakarta, minggu kedua Agustus lalu mengatakan persaingan dengan Malaysia, Tiongkok dan Singapura yang juga memproduksi batik perlu diwaspadai agar tidak menggeser posisi daya saing batik nasional. “Untuk itu, kita perlu menjaga dan melestarikan nilai budaya batik dengan penguatan branding dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual,” kata dia.
Untuk itu, dalam rangka menggenjot produktivitas dan daya saing industri batik nasional, Kementerian Perindustrian telah menjalankan beberapa program strategis seperti peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan pengembangaan kualitas produk. Selain itu, penerapan standardisasi, fasilitasi mesin dan peralatan produksi, serta promosi dan pameran baik di dalam maupun luar negeri.
“Salah satu, kegiatan yang kami lakukan yang bekerja sama dengan Yayasan Batik Indonesia (YBI), yaitu menyelenggarakan Pameran Batik Warisan Budaya XII di Plasa Pameran Industri,” tutur Gati. Pameran ini selain bertujuan mempromosikan karya-karya unggulan dari para pengrajin batik dalam negeri, juga guna memperluas pasar mereka yang didominasi oleh pelaku IKM.
Sementara ekonom H.M. Eko Budi Cahyono, yang dikutp dari tribun-bali.com, mengatakan industri batik nasional berpotensi berkembang di pasar global. “Industri batik sebagai salah satu bagian dari industri kreatif sub sektor fesyen kini kian berkembang pesat merambah pasar internasional. Saya yakin jika potensi ini digarap maksimal maka batik bisa merajai pasar fesyen dunia,” kata Eko Budi, di Denpasar, 2 Oktober lalu.
“Industri batik menjadi salah satu kekuatan pendukung yang penting bagi industri fesyen yang merupakan salah satu sektor utama penggerak ekonomi kreatif di Indonesia selain kuliner dan kriya,” tarang Eko Cahyono.
Batik bisa menjadi bahan baku bagi industri pakaian jadi dunia, meski produk jadi batik pun tetap punya peminat di luar negeri. Itu sebabnya pemerintah akan meningkatkan kemampuan perajin batik di dalam negeri. Kemenperin antara lain juga bakal menerapkan standar produk (untuk ekspor), membantu pengadaan mesin dan peralatan produksi, serta menggelar ajang promosi melalui pameran di dalam dan luar negeri.
Walapun pada awal menurut kurator batik, Romi Oktabirawa, inspirasi warna batik awal dari warna tanah. Sebab pada dasarnya manusia akan kembali ke bumi. “Orang-orang pesisir, biasanya secara psikologi sebagai orang pemberontak. Tidak mau ada peraturan dari orang-orang keraton, sehingga ada inisiatif merubah warna keraton menjadi warna-warnah cerah,” kata Romi kepada pelakubisnis.com, 15 November lalu.
Akhirnya pakem tersebut, kata Romi, secara ekonomi diperbolehkan karena batik bukan hanya sekedar produk budaya saja, tapi juga produk ekonomi. Sebab, bila berbicara dari sisi budaya saja tidak berkembang karena hanya terbatas di kalangan tertentu saja (keraton/kerajaan-red), tapi harus gencar mengembangkan batik dengan melakukan modifikasi warna yang sesuai selera pasar.
Lebih lanjut ditambahkan, ekspektasi terhadap dunia perbatikan sangat responsip. “Harus diperjelas bahwa batik ini bagian dari produk tekstil yang mana rentang warna menggunakan canting dengan menggunakan lilin panas ini disebut batik tulis. Yang menggunakan cap disebut batik cap atau kombinasi keduanya,” jelasnya. Ini perlu diedukasi ke masyarakat bahwa batik hanya sebuah proses, bukan motif.
Romi menambahkan, bila kita ingin memasarkan batik di internasional, dengan warna batik kelam, mungkin tidak pas. Jadi, bila diamati secara perspektif ekonomi, batik merupakan sebuah proses, tentunya akan menyesuaikan dengan tata warna di daerah atau negara tersebut. “Misalnya, mohon maaf, kita pameran ke Jepang menggunakan motif Parang-Parang dengan warna gelap. Orang pesisir merubah Parang tersebut dengan warna-warni, Jepang akan mau. Seperti itu contohnya,” urai Romi menjelaskan bila batik dilihat dari perspektif ekonomi.
Tidak ada batik yang jelek, tambah Romi, tiap daerah mempunyai ciri khas, makna dan filosofi tersendiri serta mempunyai kekuatan mistik relegius tersendiri. Semua batik itu bagus. Ada 18 potensi perbatikan dan ini menjadi kekuatan Indonesia karena bersifat padat karya serta merupakan art collective. Beda halnya dengan karya seni lukis yang bisa dikerjakan sendiri.
Romi menambahkan sejak batik dinobatkan sebagai intangible culture heritage humanity pada 2009 oleh UNESCO, batik yang semula hanya digunakan sebagai pakaian resepsi saja, sekarang pasar internasional telah menerima kehadiran baik karena keunikan dan penyesuaian motif-motif internasional. “Bahkan, beberapa tren mode di Paris, di Australia melakukan pembelajaran bagaimana batik,” jelasnya. Ini sesuatu yang menarik. Ke depan batik menjadi bagian dari tekstil, sehingga akan lebih mudah masuk ke pasar internasional.
Lebih lanjut ditambahkan bila batik dianggap bagian dari printing, Indonesia sudah ketinggalan. Tapi bila bila kita berbicara batik sebagai budaya, Indonesia lebih maju 100 kali dibandingkan negara-negara di dunia. Pertanyaannya bagaimana mengemas batik dari aspek budaya menjadi nilai ekonomi yang tinggi?
“Saat ini batik tidak hanya tembus di pasar Asia saja, pasar Eropa pun sudah dilakukan penetrasi pasar. Artinya mereka sudah mengerti dan kagum terhadap batik,” tambahnya. Sebab batik di beberapa daerah merupakan kebutuhan batiniah para pengrajin batik yang membuat masyarakat dunia tertarik terhadap pembuatan batik.
Romi menambahkan, salah satu cara edukasi pasar batik di internasional adalah dengan mengundang langsung potensial buyer berkunjung ke tempat pengrajin batik. Belakangan ini banyak orang asing berkunjung ke sentra-sentra perajin batik untuk mengetahui proses pembuatan batik.
Sementara menurut praktisi dan pengusaha batik, Mochammad Luthfi, perajin dan pengusaha batik di Bali terus berusaha mempromosikan batik kepada dunia melalui para pelancong dan turis mancanegara yang datang ke Bali. Sebenarnya pasar ekspor untuk batik sangat terbuka luas. Untuk Amerika saja, kebutuhan ekspor batik untuk di sana mencapai 500 ribu m2 per bulan. Realitanya saat ini kami hanya mampu memenuhi sekitar 60 – 70 persennya saja. Belum lagi Kanada, Inggris, dan Korea. Pangsa pasar untuk batik ekspor di negara-negara tersebut sangat besar, sebagaimana dikutip dari www. watyutink.com.
Lebih lanjut ditambahkan, sebagai pelaku usaha batik cap, saat ini saya sendiri bisa kirim 30 ribu m2 kain batik ke Amerika per bulan. Hal yang sama juga dialami perajin dan pengusaha batik lain di Bali.
Saat ini kami memang hanya fokus pada pasar impor. Karena jika kami mengandalkan pasar lokal saja, kami tidak akan bisa berkembang. Selain sulitnya pembayaran, batik di pasar lokal juga sudah red ocean. Ditambah lagi dengan masuknya batik printing dari China, yang dijual dengan harga sangat murah, pasar lokal sudah semakin penuh.
Sementara Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan, pihaknya terus mendorong para pengrajin dan peneliti industri batik nasional agar terus berinovasi mendapatkan berbagai varian warna alam. Upaya ini untuk mengeksplorasi potensi batik Indonesia sehingga memperkaya ragam kain wastra Nusantara dengan warna alam. “Di samping itu, kami memiliki program e-Smart IKM yang bertujuan mendorong pelaku usaha untuk masuk dalam pemasaran online,” ungkapnya. Hal ini sebagai salah satu langkah strategis untuk menuju implementasi revolusi industri 4.0.[] Yuniman Taqwa
Tidak ada komentar: